ESSAY- mimpi, citta-cita, harapan
SEBUAH IMPIAN
Impian, cita-cita, harapan. Ketiga kata tersebut adalah
pembentuk kehidupan. Meraihnya memang bukan hal mudah pun sulit. Manusia pada
hakikatnya memiliki impian yang tidak pernah disadari. Mungkin, beberapa orang
berpikir bahwa mereka tidak tahu dan bimbang tentang masa depan mereka. Tentang
cita-cita mereka. Itu tidak sepenuhnya benar. Cita-cita bagi saya bukanlah
suatu hal yang dinilai dengan bentukan profesi atau materi. Setiap hal yang
diinginkan manusia pada hakikatnya adalah sebuah cita-cita. Sebuah harapan yang
tertanam kuat di dalam hati manusia. Harapan yang kelak menjadikan mereka
bahagia dan menikmati makna hidup sebenarnya.
Dahulu saya memiliki pemikiran
tentang sebuah cita-cita, sebuah mimpi yang saya harapkan akan menjadi sebuah
kenyataan. Menjadi seorang dokter adalah cita-cita saya saat duduk di bangku
sekolah dasar. Saat itu, saya sangat tergugah dengan stetoskop dan alat medis
yang saya lihat di rumah sakit. Saya sangat kagum terhadap para dokter yang
cekatan dan dengan ajaib mengetahui penyakit pasiennya. Saat saya mengatakan
mimpi itu, ibu saya terlihat senang dan mendukung. Menjadi dokter adalah hal
yang baik, suatu hal yang nantinya dapat mengangkat nama diri sendiri dan
keluarga, mendapat raihan kata sukses, dan hal membanggakan lainnya. Benar. Itu
memang impian. Namun, itu adalah cita-cita ideal yang tumbuh di masyarakat.
Namun, saya tidak menganggap itu ideal.
Pemikiran tentang cita-cita saya
dahulu memang dalam bentuk kesuksesan nyata dalam hidup. Dan cenderung ke arah
materialis. Artinya, bagi saya yang dahulu, cita-cita itu adalah impian atau
keinginan untuk menjadi guru, dokter, insinyur, polisi, tentara, dan sebagainya
yang nantinya dapat membuat saya dicap sukses oleh orang-orang karena jumlah
gaji yang diterima. Namun, seiring berjalannya waktu saya sadar itu tidak
sepenuhnya benar.
Kelas 3 SMA adalah waktu terberat
saya. Saya yang adalah anak pertama bingung menentukan cita-cita saya sendiri.
Saya sangat iri dan sangat putus asa terhadap teman-teman yang dengan ambisiusnya
mengejar cita-cita mereka. Saya memiliki banyak hal yang saya sukai.
Menggambar, menulis, menyanyi, dan bermain gitar. Namun, entah mengapa ada
pemikiran salah dimasyarakat yang menghantui saya. Bahwa setiap ilmu pasti akan
membawa kita menjadi sukses, dan yang saya sukai bukanlah ilmu pasti. Menjadi
seniman bukanlah hal besar bila dibandingkan dengan dokter. Dari sana saya
mulai bingung dan mulai mencari apa yang bisa saya lakukan di ilmu pasti
tersebut. Akhirnya, saat SNMPTN dan SBMPTN saya memaksakan diri saya mengambil
jurusan Psikolog. Dan karena paksaan itu, saya tidak lulus.
Saya senang kedua orang tua saya
mendukung apa yang saya ambil. Saat saya masuk ke jurusan Penerbitan di salah
satu politeknik, saya sangat senang. Awalnya, kedua orang tua saya kecewa,
namun saya ingin mengubah pemikiran mereka tentang apa yang saya ambil.
Itu adalah langkah awal saya dalam
menggapai impian saya. Cita- cita saya. Walau sebenarnya, dapat dikatakan saya
masih mengikuti arus dan masih terombang-ambing di antaranya. Namun, satu
pemikiran saya mulai terbuka lagi mengenai cita-cita. Lantas apa sebenarnya
cita-cita saya selanjutnya?
Menjadi penulis adalah cita-cita yang sedang saya gapai berbarengan dengan
cita-cita lainnya. Cita-cita yang sama sulitnya untuk di raih. Mungkin saja
orang akan tertawa jika saya mengatakan hal ini adalah cita-cita. Namun apa
peduli saya? Bukankah pemikiran orang berbeda, dan saya merasa saya harus
menghargai pemikiran diri saya sendiri sebelum menghargai milik orang lain.
Percaya diri. Itulah cita-cita saya. Saya telah katakan bahwa cita-cita bagi
saya bukanlah hal yang dapat dinilai dari profesi maupun materi.
Kelemahan saya adalah kurang percaya diri dan hal itu tidak boleh saya
biarkan. Saya harus menjadi seseorang seperti apa yang saya mau. Saya ingin
mewujudkan hal tersebut dengan segenap hati. Meraihnya bukanlah hal mudah.
Memang tidak membutuhkan biaya, namun saya sangat menekan diri saya dan
memaksakan diri saya untuk keluar dari zona nyaman dan hal itu sangat
melelahkan mental.
Jika saya membuat list tentang keinginan atau cita-cita saya. Tentu
akan sangat banyak. Namun, tentu itu adalah rintangan yang harus saya hadapi
sebelum saya mencapai puncak untuk menjadi seorang penulis terkenal. Saya
sangat ingin menjadi orang yang percaya diri, menjadi orang yang dapat
bermanfaat bagi orang lain, saya juga ingin membanggakan orang tua saya dan hal
itu semua masuk ke dalam list cita-cita saya.
Banyak rintangan yang telah saya lalui untuk menjadi seorang yang lebih
bersinar. Sangat menyakitkan sekali berurusan dengan mental saya yang mudah
drop, dan atas dasar itulah, karena keinginan untuk menyelamatkan diri dari toxic
mental itulah saya mencoba agar saya dapat mengubah diri saya dulu. Saya
sangat yakin hal ini akan membuat saya menjadi orang yang lebih positif lagi
nantinya.
Entah mengapa saat saya mendengar kata cita-cita bukan lagi besitan
stetoskop yang tergantung di leher seorang dokter ataupun orang-orang yang
bekerja di bank yang ada di pikiran saya. Justru, saya langsung teringat akan
payahnya diri saya sendiri. Rasa iri saya terhadap teman-teman yang memiliki
keberanian tingi dan sifat mudah berbaur mereka dengan yang lain. Saya selalu
berpikir, jika saya tidak bisa seberani mereka, jika saya tidak bisa sepercaya
diri mereka, maka apa saya yang pengecut ini bisa meraih kata sukses padahal
sedikit sekali hal yang saya lakukan. Dan dari hal itulah akhirnya saya
memutuskan untuk menjadikan kelemahan saya sebagai cita-cita yang harus saya
penuhi terlebih dahulu sebelum mencapai cita-cita saya yang lain.
Melakukan suatu effort dalam menggapai cita-cita adalah hal yang
sangat wajib dilakukan apabila ingin cita-cita itu tercapai. Saya sendiri
memilih untuk mencapai cita-cita saya secara bertahap. Saya lebih memilih untuk
meningkatkan pikiran positif dan self love terlebih dahulu. Kenapa?
Karena saya pikir, apabila saya ingin menjadi seorang penulis namun saya sulit
untuk menyukai karya saya dan saya terus melihat kelebihan dan bukan diri saya,
maka saya rasa saya tidak bisa menjadi penulis. Karena bagaimanapun juga,
penulis itu adalah orang-orang hebat yang percaya diri dengan karya mereka
sendiri.
Saya mulai membuar target setiap hari di sebuah buku untuk mengukur self
improvement saya. Target-target tersebuh berupa rentetan list yang
saya buat sendiri seperti, pada hari senin saya harus memaksimalkan diri untuk
bertanya pada saat ada persentasi. Kemudian pada hari selasa saya harus berani
untuk bertanya pada dosen tanpa harus memikirkan pandangan orang lain terhadap
pertanyaan saya. Di hari selanjutnya, saya harus bisa dengan percaya diri
mempresentasikan suatu topik dengan baik dan saya juga harus bisa menghilangkan
rasa gugup saya.
Bukan harian saja, saya juga membuat target mingguan yang berdasar pada
kemampuan saya untuk mengerjakan setiap tugas yang diberikan. Apabila semua hal
yang saya tulis di list tersebut
berhasil saya lakukan. Maka, saya akan memberi tanda ceklis pada tulisan
tersebut. Saya juga menuliskan suatu perintah untuk diri saya sendiri untuk
selalu berpikir positif setiap harinya agar saya bisa lebih bahagia.
Hal-hal tersebut cenderung remeh bukan? Namun tidak bagi saya yang sangat
penakut bahkan hanya sekedar untuk bertanya. Kemudian, selain mencoba untuk membangun mental sehat, saya juga mencoba
untuk mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen dengan baik dan juga
menampilkan kelebihan saya yang selama ini saya sembunyikan. Saya juga lebih
sering memberikan reward kepada diri saya sendiri apabila telah
melakukan sesuatu hal. Memang bukan hadiah besar, melainkan hanya segelas
minuman semacam boba yang saya beli. Bagi saya, memberikan reward kepada
diri sendiri haruslah sesuatu yang benar-benar saya inginkan dan hal yang akan
membuat saya senang setelah mendapatkannya tanpa memandang harga maupun merek.
Sedangkan untuk menggapai impian
saya sebagai seorang penulis, saya mulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu.
Tugas-tugas yang diberikan dosen saya seperti menulis cerita fiksi, faksi,
membuat liputan event, alih wahana, membuat novel, naskah drama, dan hal
lainnya yang bersangkutan dengan penulisan saya kerjakan semaksimal mungkin.
Saya ingin menunjukan tulisan saya lewat tugas-tugas tersebut. Saya juga
mengikuti event yang diselenggarakan oleh para penerbit yang sedang
mencari naskah. Walau saya belum pernah menang, justru saya banyak belajar dari
kesalahan saya.
Manusia memiliki potensi besar yang
kebanyakan tak mereka sadari. Saya masih sering melihat teman-teman saya yang
memiliki bakat lebih dari saya merasa terpuruk dan bimbang. Mereka masih
terombang-ambing di tengah impian mereka yang membingungkan dan saya
menyayangkan hal itu. Posisi yang mereka alami pernah saya alami juga dan saya
bersyukur -memiliki satu lagi cita-cita yang amat saya inginkan. Membanggkan
orang tua.
Saat saya mulai bingung dan menangis
karena masa depan saya yang kelihatannya suram. Saat saya mencoba memutuskan
untuk menyerah. Saya selalu mengingat orang tua saya. Saya harus membanggakan
mereka. Terkadang cita-cita itulah yang menjadikan saya dapat kembali hidup
saat saya mulai memutuskan untuk mati. Saya mengingat jasa orang tua saya yang
harus saya perjuangkan dalam hidup saya. Benar, saya sangat tahu apa yang
cita-cita dapat lakukan terhadap hidup seseorang. Saat seseorang mulai menyerah
dan bertanya apa makna hidup mereka. Terkadang mimpi mereka, cita-cita mereka
yang walaupun sangat kecil dan terlihat tidak penting bagi orang lain, akan
dapat membantu mereka bangkit. Dan terkadang cita-citalah yang menghidupkan
seseorang.
Bagi saya, kerja keras dari orang
tua adalah motivasi terbesar. Saya pun tak pernah berpikir bahwa orang yang
kehilangan orang tuanya tidak dapat menjadikan kedua orang tua mereka sebagai
motivasi. Justru, dengan segala hal yang telah orang tua berikan hingga akhir
hayatnya itulah yang seharunsnya menjadi tumpuan semua orang untuk terus
berjuang.
Ibu saya pernah berkata bahwa
menjadi berguna bagi banyak orang adalah hal yang sangat berarti. Saya
menyadari hal itu dan saya sangat ingin melakukannya. Saat melihat banyak
kejadian yang saya rasa salah, saya merasa harus ambil andil dalam hal
tersebut. Namun sayang sekali saya belum bisa melakukan hal besar bagi negeri
saya sendiri dan orang lain. Mungkin dengan membagikan pengalaman saya dan
beberapa hal yang saya alami dapat membantu mereka secara tak langsung.
Saya adalah orang yang pasif dan
saya telah menjelaskan bagaimana saya mencoba untuk keluar dari zona tersebut.
Terkadang saya berpikir, apa ya yang telah saya lakukan bagi negeri saya? Saya
pernah menulis sebuah essay untuk kompetisi online saat kelas 2 SMA. Temanya
tentang pentingnya pendidikan. Saya gagal. Namun, saya berhasil menyuarakan apa
yang berada dalam pikiran saya saat itu. Saya juga sangat berharap apa yang
saya tulis dalam essay tersebut dibaca dan menjadi hal baik bagi dunia
pendidikan Indonesia. Walau saya hanya seorang murid biasa bukannya seorang
murid yang telah menyabet segala mendali kejuaraan apapun, tetap saja saya
sangat ingin essay saya dapat membantu.
Saya
memang belum pernah
berpasrtisipasi secara langsung dalam hal yang berbau sosial. Apabila mengajar
ngaji anak-anak kecil dapat dihitung sebagai partisipasi dalam masyarakat saya
akan sangat berterimakasih. Dahulu, saat saya masih duduk di kelas 1 SMP, saya
diperintahkan oleh guru ngaji saya untuk mengajar anak-anak kecil yang umurnya
masih sekita 5-7 tahun untuk mengaji. Yah, walau saya sendiri masih dalam tahap
mengaji Juz Amma setidaknya mengajar Iqra satu bukanlah perkara yang sulit.
Saya senang bisa membantu mereka mengaji walau saya sendiri belum sesiap guru
ngaji saya yang lain.
Jika pikir lagi. Saya lebih aktif
saat saya SD-SMP dibandingkan dengan saya saat SMA dan seterusnya. Saya sangat
ingat bagaimana saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar saat itu sangat
percaya diri membawakan ceramah di acara hari kelahiran nabi Muhammad saw. Saat
itu, hanya saya yang berceramah tanpa melihat teks, sedangkan kakak-kakak yang
lain. Yang umurnya 2 tahun lebih tua dari saya, masih memegang teks dan
sesekali membacanya. Saya masih bangga akan perbuatan kecil tersebut.
Saya juga sangat berharap mengisi
materi acara pelantikan ekstrakulikuler yang dahulu saya ikuti dapat dihitung
sebagai salah satu partisipasi saya terhadap lingkungan sekitar. Walau materi
yang saya bawakan sangat ringan dan sikap saya yang membawa materi di depan
kelas dan di hadapan puluhan murid masih merupakan sikap gugup seorang pemula,
saya tetap berharap apa yang saya sampaikan dapat berguna.
Terkadang saya sangat malu terhadap
diri saya yang dahulu. Saat dimana saya masih sangat bersemangat terhadap
tantangan baru. Seiring dengan berjalannya waktu, saya lebih sering mendengar
apa yang orang lain katakan dibandingkan dengan diri sendiri. Hal itulah yang
membentuk pribadi “dewasa” saya. Benar, dewasa yang saya maksud adalah dimana
saya mulai bertemu masalah hidup saya yang kebanyakan berasal dari diri
sendiri. Konflik batin adalah hal yang paling sulit untuk saya lalui. Walau
sekarang saya sudah mulai melepas sifat itu. namun, bukan berarti itu akan
menghilang selamanya.
Sekarang, dengan kemampuan yang saya
miliki. Saya ingin mengembangkan diri saya. Saya mulai tersadar bahwa potensi
yang ada dalam diri saya sangatlah besar. Yang menjadi masalah adalah, apakah
saya bisa menunjukkan hal itu atau justru memendamnya sehingga orang lain dapat
dengan mudah merendahkan saya. Apakah saya akan terus berdiam sedangkan saya
bisa saja menjadi sebuah emas dikemudian hari jika saya lebih berusaha lagi.
Terkadang saya berpikir untuk menyerah dan menjadi orang yang jahat. Namun,
saya terus berpikir. Bagaimana jika saya terus berjuang dan berbaik hati dihari
ini, saya akan mendapatkan hal yang saya inginkan dikemudian hari? Bukankah hal
itu justri membuat keegoisan saya sia-sia?
Pada akhirnya saya memutuskan untuk
terus bertahan pada sikap saya yang terus menunggu hari dimana saya akan
mendapat balasan atas apa yang saya kerjakan. Saya sangat tak sabar
menantikannya. Mimpi-mimpi kecil yang saya susun agar menjadi hal besar, saya
harap akan segera terwujud seiring waktu berjalan. Dengan tulisan yang saya
buat ini, sekali lagi saya berharap bahwa apa yang telah saya ceritakan akan
memberikan motivasi dan dapat mengubah hidup seseorang,
Komentar
Posting Komentar