media sosial dan remaja
Media Sosial dan Remaja Perempuan
Media sosial, seperti yang
kita ketahui adalah sebuah media yang dijadikan tempat untuk mengunggah sesuatu
baik berupa tulisan, foto, maupun video. Tujuan dari media sosial sendiri yaitu
sebagai media untuk menyalurkan ekspresi dan pengalaman yang dialami oleh para
pengguna. Media sosial pada masa kini benar-benar sedang dalam masa kemajuan
yang pesat. Seperti twitter, instagram, facebook, snapchat, dan lain
sebagainya.
Media sosial memang sangat
lekat dengan kehidupan remaja masa kini. Mereka merasa bahwa media sosial
adalah salah satu bagi mereka untuk membagikan setiap momen yang terjadi. Atau
kita dapat katakan bahwa media sosial merupakan tempat mereka untuk eksis dan
bersifat narsis. Penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari terhitung
sangat besar dibanding dengan penggunaan aplikasi lain.
Segala kalangan
menggunakan media sosial dengan bebas tanpa memandang status ekonomi, gender,
ras dan sebagainya. Namun, yang lebih dominan adalah remaja-remaja perempuan
yang pada usianya memang sedang gencar menunjukkan eksistensi diri mereka. Hal
ini dapat di lihat di penggunaan banyak media sosial. Seperti Instgaram
contohnya, kita dapat melihat banyak remaja perempuan yang lebih sering
meng-upload foto-foto mereka. Mereka menggunakan banyak cara agar foto yang
akan di uploadnya terlihat menarik untuk di lihat. Namun, entah mengapa hal ini
justru rasanya menjadi salah. Media sosial seakan-akan bukan lagi tempat untuk
menyalurkan ekspresi, pengalaman dan hal-hal lainnya. Entah bagaimana semua
fitur yang sebenarnya hanya merupakan sarana untuk mengapresiasi hal yang
diunggah oleh pengguna menjadi semacam ajang kompetisi bagi para pengguna itu
sendiri.
Tak jarang, ada beberapa
pengguna yang menggunakan jasa pembelian follower atau like agar mereka
mendapat like dan follower yang banyak. Hal ini sungguh memprihatinkan
mengingat tujuan awal dari media sosial bukanlah untuk berkompetisi mencari
banyaknya follower atau like dari orang-orang.
Media sosial sendiri
tidaklah memberi dampak buruk kepada
remaja dan para penggunanya. Justru merekalah yang menjadikannya terlihat
buruk. Entah bagaimana mereka justru merasa bahwa media sosial sangatlah
berdampak pada kehidupan asli mereka. Mereka merasa sangat tertekan dengan
hal-hal remeh yang ada di media sosial. Tertekan, merasa iri, merasa kesepian, dan
hal-hal lainnya menganggu pemikiran mereka dan itu sangat berpangaruh terhadap
kesehatan mental mereka sendiri.
Di kutip dari Kompas.com Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Child &
Adolescent Health seperti dikutip dari CNN, Minggu (1/9/2019) menyebutkan,
baik pada remaja laki-laki maupun perempuan, penggunaan media sosial yang
sering menyebabkan tekanan psikologis yang lebih besar.
Namun demikian, efeknya terlihat jelas pada perempuan. Mereka
merupakan pihak yang lebih sering memeriksa akun media sosial, dan hal ini
membuatnya menjadi lebih rentan terkena tekanan psikologis. Para peneliti
menemukan, media sosial dapat membahayakan mental anak perempuan. Ini karena,
penggunaan yang berlebihan dapat meningkatkan paparan mereka terhadap perilaku
bullying serta dapat mengurangi tidur dan aktivitas fisik.
Bagi remaja perempuan, hampir 60 persen dampak pada tekanan
psikologis disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. "Hasil
kami menunjukkan bahwa media sosial itu sendiri tidak menyebabkan kerusakan.
Tetapi penggunaan yang sering dapat mengganggu kegiatan, yang berdampak pada
kesehatan mental serta aktivitas seperti tidur dan berolahraga," ucap
salah satu peneliti Russell Viner dari UCL Great Ormond Street Institute of
Child Health.
Dari kutipan tersebut dapat kita
pertimbangkan lagi bahwa media sosial memang tidak begitu memberi pengaruh yang
besar apabila menggunakannya secara sewajarnya saja. Di kasus lain, banyak pula
remaja perempuan yang merasa bahwa mereka tak dipedulikan, mereka merasa iri
akan apa yang diposting orang lain. Setelah selesai mengunggah suatu postingan,
mereka akan merasa gelisah dan terus menerus memeriksa jumlah like yang mereka
terima dan itu dapat menyebabkan gangguan pada psikologis mereka.
Hal-hal
semacam itu terjadi dan biasanya bermula pada saat mereka saling membandingkan
sosial media mereka dari satu ke media sosial orang lain. Sebagai contoh, dua
orang remaja yang sedang membandingkan jumlah like dan follower mereka yang
sangat jauh. Remaja A memiliki 1.000 follower dan mendapat like yang banyak,
sedangkan remaja B hanya mendapat 400 follower saja dengan jumlah like yang
lebih sedikit. Terkadang hal-hal seperti ini dapat memberi dampak yang sangat berpengaruh
terhadap psikologis salah satu pihak. Terlebih dengan pihak B yang memiliki
follower dan like yang sedikit. Akan ada tahap dimana ia merasa bahwa dirinya
tidaklah secantik, tidak populer dan tidak sepintar remaja A. Pemikiran semacam
itulah yang dapat membuat seseorang merasa minder, menjadi pendiam, insecure,
dan sangat sulit untuk bergaul.
Karena
remaja memang masih dalam tahap mencari jati diri. Mereka menjadi sangat rentan
terhadap hal-hal yang menyangkut psikologis mereka. Pikiran mereka yang masih
labil dan belum memandang dunia dengan luas membuat mereka menjadi terkurung
dengan apa yang mereka lihat.
Perempuan
sendiri merupakan makhluk Tuhan yang sangat memperhatikan kecantikkan mereka.
Media sosial yang dapat diakses siapapun dan dengan adanya hal-hal yang membuat
media sosial dijadikan sebagai ‘ajang kompetisi’ membuat perempuan
berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik dalam setiap postingan mereka.
Pada
saat mereka melihat banyak sekali perempuan-perempuan cantik yang tersebar di
media sosial, mereka akhirnya dapat membuat suatu hal yang justru memberikan
dampak lebih parah lagi. Standard Beauty, hal yang sebenarnya merupakan
ciptaan manusia sendiri menjadi suatu acuan seseorang menilai cantik tidaknya
orang lain. Akhirnya, dari yang dilihat remaja-remaja ini yang tersebar di
media sosial. Membuat mereka berlomba-lomba memunculkan kecantikan berdasarkan
acuan orang-orang. Hal ini pula yang dapat menyebabkan adanya body shamming dan
cyberbullying yang
marak terjadi. Kemudian, dari hal-hal tersebut dapat menyebabkan depressi dan
hal fatal yang menyebabkan bunuh diri.
Media sosial sekali
lagi hanya media yang menyalurkan ekspresi dan pengalaman yang ingin dibagikan.
Bukannya sebuah media yang menjadi sarana kompetisi. Dari hal-hal yang telah
disebutkan di atas, tentu dapat kita simpulkan bahwa semua bukanlah sepenuhnya
salah media sosial itu sendiri. Melainkan, pola pikiran kita sebagai pengguna
juga sangatlah berpengaruh. kita tak dapat menjadikan apa saja yang ada di
media sosial menjadi acuan atas kehidupan kita sendiri. Nampaknya yang sangat
diperlukan oleh remaja-remaja masa kini bukanlah sebuah sifat narsis atau
eksis. Melainkan menumbuhkan sikap mencintai diri sendiri. Dengan segala hal
yang telah dijabarkan di atas, pemikiran-pemikiran yang toxic tersebut
tentu dapat membuat kita tak begitu menghargai diri sendiri dan justru malah
terpaku pada apa yang telah diciptakan manusia-manusia medsos itu sendiri.
Berkembangnya
teknologi bukanlah hal yang patut kita terima dengan begitu saja. Dengan adanya
kasus-kasus seperti di atas sudah sebaiknya kita mencegah hal tersebut dengan
menjadi pengguna bijak baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Oleh karena
itu, sudah seharusnya kita dapat memfilter mana yang baik dan buruk bagi diri
kita. Usahakan untuk lebih sering berkomunikasi tatap muka dengan teman-teman
saat berkumpul bersama. Usahakan pula untuk tidak terlalu sering bermain media
sosial di rumah, dan alangkah lebih baik jika kita memperbanyak berbincang
kepada keluarga dan melakukan hal positif lainnya. Apabila memang harus
berkaitan dengan media sosial, maka gunakanlah dengan bijak dan jangan terpaku
dengan apa-apa yang ada di dalamnya.
Komentar
Posting Komentar