Kritisi RUU Korupsi.
Kesejahteraan masyarakat merupakan prioritas suatu negara. Baik
buruknya suatu negara, terlihat dari kesejahteraan masyarakatnya, dan hal itu
pula yang menjadikan negara tersebut menjadi negara maju yang makmur.
Keadaan keuangan yang stabil, ekonomi masyarakat yang mencukupi,
sumber daya alam dan manusia yang memadai, disertai dengan faktor pendorong lainnya
menjadi salah satu tolak ukur kemakmuran dan kemajuan suatu negara.
Indonesia sendiri
memiliki potensi yang sangat tinggi untuk menjadi salah satu negara termakmur
di Asia apabila pengelolaan sumber daya manusia dan juga alamnya dikelola
dengan cukup kompeten. Adanya kekuasaan
yang mengusung paham demokrasi di Indonesia seharusnya menjadi hal yang
nantinya akan memajukan kesejahteraan rakyat. Kebebasan berpendapat para
masyarakat, dan dengan adanya politik yang transparan seharusnya menjadi poin
yang nantinya bisa membawa Indonesia menjadi lebih maju. Tentu saja, para
pemimpin negara dan elit politik lainnya harus mempertimbangkan setiap masukan
yang diberikan rakyat disamping dengan keputusan yang mereka buat.
Namun sangat disayangkan, hal-hal demikian yang telah disampaikan agaknya menjadi sulit. Padahal, dengan adanya
kinerja yang baik dari kedua belah pihak yaitu masyarakat dan para birokrat rasanya
negara ini pasti akan menjadi negara terhebat. Bayangkan saja, dari ribuan
pulau, jutaan masyarakat, puluhan kota, ratusan kabupaten, dan keanekaragaman
flora fauna. Indonesia yang sangat beragam ini pasti akan sangat maju dibanding
dengan Jepang sekalipun. Namun sekali lagi. Kualitas tentu sangat lebih berarti
dibanding dengan kuantitas. Apabila sumber daya yang ada tidak dioptimalkan
dengan baik, maka kuantitas yang sebenarnya memiliki nilai tinggi pun akan
sia-sia.
Sumber daya manusia sangatlah memiliki impact yang besar
dalam hal ini. Peran manusia yang notabene nya sebagai pemelihara dan pengelola
alam memiliki andil besar. Sangat disayangkan, sekali lagi kita diperlihatkan
kepada kenyataan dimana sumber daya manusia yang ada tak begitu dioptimalkan.
Indonesia menjadi negara berkembang yang justru warga negaranya sendiri menjadi
“Pembantu” dan para bangsa asing yang datang justru dijadikan bak tuan tanah.
Mirisnya lagi, birokrat yang tak bertanggung jawab atas profesinya justru mengubah
diri menjadi hama negara yang memakan uang
rakyat.
Korupsi rasanya bukanlah hal yang asing, hampir setiap
tahunya uang rakyat yang harusnya mengalir demi pembangun bangsa justru dilahap
oleh oknum berdasi yang semestinya adalah orang-orang berakhlak yang
berpendidikan tinggi. Rasanya kemiskinan bangsa belum cukup menyakitkan bagi
mereka. Kekuasaan yang didapat justru menjadi permainan yang semakin menguatkan
mereka, seakan-akan mereka adalah bagian teratas dari rantai makanan.
Mereka menyalahgunakan
kekuasaan, dan memakainya untuk kepentingan
entah berantah tanpa tahu apa yang
dirasakan rakyat kecil.
Belum cukup sampai disitu, para koruptor yang tertangkap
justru tak “menikmati” masa penjara mereka. Bukan jeruji yang mereka rasakan,
bukan pula kasur besi keras yang mereka tiduri saat malam, melainkan tempat
senyaman hotel dengan fasilitas yang baik. Tak bisa dibayangkan bagaimana
seorang pencuri uang negara yang sudah tertangkap bisa dengan santainya pergi
berlibur ketempat yang indah padahal rakyat yang dirampas haknya belum tentu
sudah makan selama tiga hari.
Fenomena korupsi ini agaknya sudah menjadi hal lumrah
dikalangan birokrat. Hukum yang kebanyakan tumpul terhadap kaum atas justru
membuat mereka semena-mena terhadap amanah yang telah diberikan rakyat dan
pemerintah. Sebaliknya, masyarakat kecil menjadi tertekann
karena pada kenyataannya hukum lebih tajam kepada mereka.
Seorang pencuri sandal bisa saja divonis penjara selama 5 tahun dan seorang
koruptor yang mencuri uang negara triliunan rupiah bisa dengan ajaibnya
dipenjara dengan masa tahanan yang sama.
Hal tersebut benar adanya. Kasus yang jika dipikirkan pun
akan menimbulkan sebuah pertanyaan, “apakah sebenarnya yang dipikirkan oleh
para aparat hukum?”. Dilansir dari Kompasiana.com, seorang remaja berusia 15
tahun, asal Palu Selatan berinisial AAL, terancam 5 tahun
bui. Sebab, polisi dan jaksa menuduhnya mencuri sandal seharga Rp.30 ribu milik Briptu
Ahmad Rusdi Harahap. Sedangkan, kasus yang
menjerat seorang mantan Direktur Utama PT PLN, Eddie Widiono. Dia dituntut 7
tahun penjara dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Padahal dalam tuntutan
jaksa, Eddi dinilai telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 46 miliar. Bayangkan, bagaimana bisa seorang koruptor yang telah
merugikan negara harus disamakan dengan seorang remaja yang hanya merugikan
seorang individu. Hal ini tentu sangatlah memprihatinkan. Sekalipun seorang
koruptor harus di penjara selama 7 tahun, rasanya jika dilihat dan di
bandingkan dengan apa yang telah diperbuat, hal tersebut tetaplah tidak adil.
Kasus-kasus yang tidak manusiawi ini bukan
hanya sekali terjadi, tetapi banyak sekali. Seorang nenek berusia 55 tahun yang
mencuri kakao pun harus ditahan selama 1,5 tahun, bahkan ia harus meminjam uang
sebanyak 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan. Kemudian dilansir dari tribunnews.com,
seorang nenek yang diduga mencuri tujuh batang kayu
milik perhutani harus di penjara selama satu tahun dengan masa percobaan 15
bulan. Selain itu, majelis hakim
yang dipimpin Kadek Dedy Arcana juga menjatuhkan denda sebesar Rp 500 juta
dengan subsider satu hari masa kurungan.
Ketidakadilan yang ada ini seharusnya dapat dicegah dan
ditegakkan dengan benar. Namun masalahnya, uang selalu mengambil alih keadilan
yang ada.
Ditahun ini, DPR mengeluarkan sebuah
RUU KUHP yang kebanyakan isinya menyimpang dari keadilan. Disini, kita akan
mengambil contoh Pasal 604 yang membahas tentang hukuman
bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang berbunyi “Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori VI.”
Kemudian, pasal yang membahas
tentang hukuman bagi para koruptor juga tercantum pada pasal 607
Ayat 2 yang berbunyi “Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
paling banyak Kategori IV.”
Kedua pasal tersebut menjadi
perdebatan dikalangan masayarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa pada
RUU ini hukuman para pelaku tindak pidana korupsi harus diringankan? Padahal,
sebelumnya pada UU Tipikor hukuman-hukuman bagi pelaku korupsi lebih berat.
Dilansir dari Kompas.com, Pasal 604 RKUHP yang diadopsi dari Pasal
2 UU Tipikor terkait perbuatan memperkaya diri mengandung ancaman penjara
minimum yang lebih singkat, yakni dari empat tahun menjadi dua tahun. Kemudian, Sanksi denda minimum juga
diperingan, dari Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta. Selain itu, pidana mati untuk
pelaku yang sebelumnya diatur dalam UU Tipikor juga ditiadakan.
Ketentuan lain yang diperingan yakni Pasal 605 yang diadopsi dari Pasal 3 UU Tipikor terkait denda untuk pelaku yang menyalahgunakan kewenangan atau jabatan. Ancaman denda minimum untuk pelaku di UU Tipikor yakni Rp 50 juta, sedangkan RKUHP juga menjadi lebih ringan yaitu Rp 10 juta.
Ketentuan lain yang diperingan yakni Pasal 605 yang diadopsi dari Pasal 3 UU Tipikor terkait denda untuk pelaku yang menyalahgunakan kewenangan atau jabatan. Ancaman denda minimum untuk pelaku di UU Tipikor yakni Rp 50 juta, sedangkan RKUHP juga menjadi lebih ringan yaitu Rp 10 juta.
Kemudian
pada pasal 607
Ayat (2) RKUHP yang diadopsi dari Pasal 11 UU Tipikor mengenai penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji. Dalam RKUHP tertulis ancaman
maksimal pidana penjara selama 4 tahun, sedangkan UU Tipikor mengatur ancaman
maksimal pidana penjara yang lebih lama, yakni 5 tahun. Begitu juga dengan sanksi
denda di RKUHP yang lebih ringan, sebesar Rp 200 juta. Padahal, UU Tipikor
menyatakan sanksi denda maksimal Rp 250 juta.
Terkait ancaman hukuman untuk pelaku korupsi yang lebih ringan, anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Nasir Djamil mengatakan, harus ada perubahan paradigma pemberantasan korupsi. Menurut dia, seharusnya upaya pemberantasan korupsi fokus pada menyelamatkan uang negara ketimbang memperberat pidana penjara terhadap pelaku.
Terkait ancaman hukuman untuk pelaku korupsi yang lebih ringan, anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Nasir Djamil mengatakan, harus ada perubahan paradigma pemberantasan korupsi. Menurut dia, seharusnya upaya pemberantasan korupsi fokus pada menyelamatkan uang negara ketimbang memperberat pidana penjara terhadap pelaku.
“Ke depan memang kita harus mengubah cara
pandang bahwa korupsi ini kejahatan keuangan, pidana kurungan badan bukan yang
utama, melainkan bagaimana uang yang sudah dirampok dikembalikan ke negara,”
ujar Nasir saat dihubungi Kompas.com, Jumat (30/8/2019).
Adanya keringanan tersebut tentu
sangat terasa janggal. Bagaimana tidak? UU Tipikor yang hukumannya saja bisa
dibilang lebih berat masih bisa dilanggar, masih banyak para tikus yang
mengambil uang negara. Lantas bagaimana dengan sanksi denda yang diberikan? Sanksi
yang lebih kecil dan lebih ringan bila dibandingkan dengan UU Tipikor. Jika,
uang yang mereka ambil bisa mencapai triliunan, lantas mengapa pula sanksi yang
diberikan kepada mereka justru diringankan? Kita sendiri tahu bahwa tanpa korupsi pun mereka memiliki kekayaan dengan jabatan yang mereka jalani. Jika
dibandingkan dengan kasus-kasus sepele seperti yang telah dijelaskan di atas. Keduanya
akan terlihat sangat jauh sekali berbeda. Yang terlihat hanyalah penyimpangan
yang tak adil dan membuat hukum seakan-akan tumpul kebawah.
Dilansir dari
detik.com, Nasir
juga mengatakan
akan disusun UU soal perampasan aset bagi koruptor. Politikus PKS itu menyebut
perlu ada cara pandang baru dalam melihat masalah korupsi.
"Makanya UU perampasan aset itu mau kita buat. Jadi memang ke depan harus kita ubah cara kita melihat masalah korupsi ini. Itu kejahatan keuangan. Makanya diharapkan uang yang sudah dirampok itu diganti, diambil lagi sama Negara. Karena itu pidana kurungan badan memang tidak terlalu, ke depan itu tergantung keputusan hakim juga," tutur Nasir.
"Makanya UU perampasan aset itu mau kita buat. Jadi memang ke depan harus kita ubah cara kita melihat masalah korupsi ini. Itu kejahatan keuangan. Makanya diharapkan uang yang sudah dirampok itu diganti, diambil lagi sama Negara. Karena itu pidana kurungan badan memang tidak terlalu, ke depan itu tergantung keputusan hakim juga," tutur Nasir.
Memang benar, mungkin saja kita
tidak perlu berfokus kepada pidana kurungan badan bagi para pelaku seperti yang
dikatakan Nasir Diamil. Namun, apakah dengan memperingan pidana yang ada justru
akan membuat pelaku jera? Atau justru mereka akan lebih gencar melakukan
aksinya? Walaupun uang negara kembali, namun oknum politik yang tidak
bertanggung jawab bisa saja mengambilnya kembali karena hukum yang lemah.
Ditambah lagi dengan pasal yang memperlemah KPK. Jika hukuman dan lembaga
pemberantasan korupsinya saja sudah dilemahkan, lantas apakah negara ini akan
aman? Mengapa para anggota DPR ini sangat terburu-buru dalam mengambil
keputusan? Bukankah negara ini demokrasi? Politiknya juga transparan. Lantas mengapa
saat rakyat meraung meminta didengar, mereka seakan-akan tutup telinga? hal-hal
tersebut menjadi suatu pertanyaan yang sangat besar dikalangan masyarakat.
Dalam acara Mata Najwa, Fahri Hamzah mengatakan bahwa walau KPK ada,
korupsi tetap saja berjalan. Kemudia apakah ini salah KPK? Padahal DPR sendiri
adalah badan pengawas KPK itu juga walau KPK merupakan lembaga indenpen. Banyak
sekali dalam pasal RUU KUHP yang bisa dikatakan tidak masuk akal. Turunnya mahasiswa
yang melakukan aksi justru memperkuat bahwa adanya RUU ini justru lebih banyak
menimbulkan kontra.
Sebenarnya, dari pandangan-pandangan tersebut memang tidak salah juga. Bagaimanapun,
uang negara yang telah dicuri memang harus dikembalikan. Namun mengapa hukumuan
pidana justru diperlemah? Berkaca pada kejadian-kejadian lalu, dimana para pelaku
tindak korupsi ini pun tidak “menikmati” keadaan penjara. Mereka tidur dikasur yang
rapih dan kamar yang bersih. Selain itu, masih saja ada oknum-oknum yang
melakukan aksi suap menyuap di dalam sel.
Dilansir dari TribunJabar.com, di Lapas Sukamiskin Bandung pernah terjadi Operasi
Tangkan Tangan (OTT). Wahid Husen ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena
diduga menerima suap terkait dugaan Jual Beli izin keluar lapas.
Dalam lapas yang berlokasi di tengah kota itu juga santer terdengar
terdapat sejumlah fasilitas mewah untuk sejumlah napi hingga tempat bersantai para napi koruptor.
Tak hanya KPK, Najwa Shihab pun ikut mendatangi lapas Sukamiskin untuk
melakukan investigasi. Dilansir dari tayangan Mata Najwa, Rabu (25/7/2018),
terlihat bagaimana mewahnya kamar para napi korupsi. Bahkan di kamar OC
Kaligis, terpidana korupsi kasus suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan,
pun ditemukan sejumlah barang mewah seperti laptop, printer dan televisi.
Sedangkan seperti yang kita tahu bahwa para napi-napi yang lain harus
merasakan dinginnya jeruji besi. Agaknya, orang-orang yang memiliki harta dan tahta
dapat mengenggam keadilan yang ada. Begitu parahnya hingga mereka dapat membeli
tempat tahanan mereka dan dapat keluar lapas dengan bebas. Hukuman di Indonesia
rasanya mudah sekali dibeli.
Lantas, apabila kita menelaah apa yang menjadi pembahasan yaitu RUU KUHP
tentang hukuman korupsI dan membandingkannya kembali dengan kejadian-kejadian
diatas. Maka, dapat dilihat bahwa sebenarnya adanya RUU tersebut justru akan
mempermudah para koruptor ini untuk melakukan hal yang sama. Miris memang melihat
bagaimana nyamannya tempat mereka direjuji dibandingkan dengan tempat masyarakat
kecil yang harus tidur digubuk sempit. Bagaimana bisa negara ini maju jika para
pemimpin nya saja tidak begitu mengindahkan pendapat rakyat.
Bayangkan, apabila RUU tersebut benar-benar disahkan dan terjadi. Adanya hukuman
mati dihapus, denda yang besar diperkecil, masa tahanan dipersingkat. Lantas,
bukannya para manusia tak berakhlak dan tak bertanggungjawab justru akan lebih senang
mendengar hal ini? Bukankah hal ini justru mempermudah mereka dan mengundang
yang lainnya untuk ikut terjerembab?
Jika para anggota DPR berpikir bahwa dengan mempersingkat dan meringankan
hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi akan dapat mengembalikan keuangan
negara. Jika mereka memang berpikir bahwa memfokuskan pengembalian uang negara
lebih penting dibanding dengan kurungan fisik. Maka hal yang dapat terjadi adalah
bisa saja korupsi ini justru menjadi budaya. Kita bisa mengambil kemungkinan
paling buruk apabila RUU tersebut benar-benar disahkan.
Perlemahan KPK saja sudah menimbulkan tanda tanya besar bukan? Jika KPK
dilemahkan, lantas bagaimana korupsi yang ada bisa diselesaikan nantinya? Mengapa
pula mereka beranggapan bahwa KPK sebagai lembaga independen tidak bisa
menuntaskan korupsi?
Sebenarnya banyak sekali hal yang perlu dikaji ulang kembali. Jika RUU ini benar-benar
akan disahkan maka hak-hak warga negara akan dilanggar dan hukum justru akan melindungi
orang-orang tinggi yang ber-uang dibanding dengan rakyat kecil yang membutuhkan
keadilan. Jika hukum bisa tunduk dengan kekayaan, lantas mengapa hukum tidak
mau tunduk dengan rasa kemanusiaan?
Komentar
Posting Komentar