DEBARAN












KERANGKA KARANGAN


Tema/Topik     : Friendship
Judul               : Debaran

1.      Pembukaan    '
      
Tokoh dan penokohan :
·         Reyna Utari (Tokoh utama. Keras kepala, kuat, terlihat tak begitu bersemangat sebelum bertemu dengan Vian Wijaya Kusuma, ia baikdan sangat perhatian terhadap orang-orang disekitarnya.)
·         Vian Wijaya Kusuma (Seorang lelaki yang dengan tiba-tiba masuk ke kamar Reyna. Ia sangat baik, ceria dan selalu menjadi penyemangat Reyna. Ia begitu penyabar, dan rendah hati. Namun, identitasnya masih belum jelas.)
·         Anna (Seorang suster yang selama setahun telah menjaga Reyna. Ia baik, ramah dan penyabar.)
·         Ibu Reyna (Baik, pekerja keras, lemah lebut)
·         Ayah Reyna (Tegas, baik hati, pekerja keras)

Latar
Tempat            : Sekolah dan Rumah Sakit
Suasana           : Ceria dan didominasi dengan sendu
Waktu              : Pagi, siang, sore, dan malam

Alur                     : Maju mundur.


2.      Isi

Konflik
      Dokter mendiagnosis bahwa penyakit jantung yang diderita Reyna sudah parah dan perlu dilakukan operasi.
Klimaks
      Vian, seorang lelaki yang sebaya dengan Reyna tiba-tiba masuk kekamarnya. Mereka kemudian menjadi akrab karena merasa memiliki masalah yang sama.
Antiklimaks
      Dokter telah menemukan pendonor jantung bagi Reyna.

3.      Penutup

Ending     : Vian mengungkapkan Identitasnya setelah operasi yang telah dijalani Reyna.
Pesan       : Sahabat akan selalu ada disaat kita membutuhkan, mereka biasanya akan mementingkan sahabatnya sendiri dibanding dirinya.




**********************************************************************************



DEBARAN

Aku ingat saat itu. Saat aku sedang melihat teman-temanku yang sibuk berlari sedangkan aku sendiri harus duduk di bawah bangunan teduh. Jam olahraga bukanlah jam yang penuh kegiatan bagiku. Penyakit jantung sialan ini membuatku menjadi orang pasif, penyakitan, dan terlihat menyedihkan. Rasanya, aku harus menjaga sebuah bom yang setiap saat bisa saja meledak. Padahal rasanya aku tak pernah merasakan apa-apa. Aku tak merasakan nyeri apapun yang menjalari dadaku, atau sesak nafas seperti orang asma. Selama ini, aku menjaga jantungku karena setiap gerak-gerik yang kubuat selalu dalam pengawasan. Seantero sekolah yang tahu akan penyakitku seakan-akan memata-matai dan menatapku seolah aku ini lansia yang tak bisa berdiri sendiri.
Hidup bagiku begitu membosankan, sangatlah datar. Aku ingat bagaimana aku termenung melihat teman-teman berlari. Oleh karena itu, sepulang sekolah, saat teman-temanku asik berbincang sedangkan aku hanya bengong menatap lapangan luas aku mulai berpikir. Bagaimana jika aku mencoba sekali saja untuk berlari menembus udara dan melewati jalanan semen lapangan? Jadi, karena keinginan kuat yang menggebu aku pun melakukannya. Terus berlari dengan kecepatan yang kubisa. Aku tak merasakan apapun, detakan jantung atau rasa sakit. Persetan dengan itu. Aku merasa semua aman-aman saja. Teriakan temanku dipinggir lapangan tak kugubris. Tatapan orang yang menganggapku sinting, tak kupedulikan.
Setelah puas, aku berhenti. Dapat kulihat dengan jelas wajah kedua orang temanku, mereka terlihat heran dengan apa yang kulakukan. Kuhampiri mereka dengan senyum lebar. Aku menang. Aku berjalan sedikit gontai, merasa cukup lelah. Selama ini aku hanya melakukan joging kecil saja, jadi ini pertama kalinya aku melakukan sprint.
Aku menepuk pundak temanku dan mengajaknya untuk pergi membeli minuman. Aksiku memang konyol, namun aku tak peduli apapun karena aku hanya ingin tahu rasanya berlari. ‘Deg’ rasa nyeri tiba-tiba menjalari dadaku. Rasa sakit itu benar-benar tak dapat kutahan. Aku sangat mengingatnya, aku merasa semua udara yang masuk direnggut paksa, aku mulai berpikir akan mati saat itu juga. yang kuingat aku bersimpuh, memegang dada dengan erat sambil mencengkram kuat tangan temanku, dan semua menjadi gelap seiring dengan suara derap kaki yang mennghampiri.
 aku tersadar di dalam sebuah ruangan putih dengan bau obat-obatan yang  menyengat hidung. Mataku sangat berat sekali, aku tak dapat melihat sekitar dengan jelas dan badanku lemas. Isak tangis Mama jelas kudengar saat itu. Pilu rasanya mendengar itu, rasa bersalah tak henti-hentinya menghantamku seolah jantungku yang lemah belum cukup untuk melemahkan mentalku. Samar-samar kudengar gumaman Mama kepada Papa. Gumaman menyayat hati yang sampai saat ini kuingat dengan pahit.

“Rey beneran harus di Rumah Sakit pah? Kenapa gak jantung mama aja yang dikasih buat Rey? Kasian dia gabisa nikmatin masa mudanya..”hujaman menyakitkan begitu menyengat sanubariku. Suara mama yang sangat parau disela-sela tangisnya begitu menyayat hatiku. Aku tidak mau ini terjadi.

Setelah benar-benar pulih, aku harus dikejutkan dengan diagnosis dokter. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi sebenarnya. Hanya saja, rasanya tetap mengejutkan sekaligus mengecewakan.
Hingga saat ini aku merasa tertekan dan selalu memikirkan kematian. Kebodohanku yang fatal itu benar-benar membuatku ingin muntah, aku benar-benar merasa muak terhadap rasa keras kepalaku yang membawa diriku sendiri pada petaka. Astaga, bagaimana bisa aku terlena dengan semen lapangan yang begitu luas. Aku bahkan dapat merasakan wajahku memerah karena malu sekarang ini. Malu akan kebodohanku yang lalu, malu karena sifat keras kepalaku yang masih saja melekat, malu dengan rasa tak tahu diuntungku. Padahal, duduk diam dan termenung akan jauh lebih baik. Aku begitu depresi sehingga lupa untuk tertawa. Semenjak menginjakkan kaki di tempat ini. Aku merasa segala kebahagiaanku dan masa mudaku direnggut paksa.


                                                           
*********************
     


Artikel kesehatan, video motivasi, rutinitas hobi, dan hal positif lainnya bagi kehidupan disuguhkan setiap minggu demi menghindariku dari rasa putus asa. Semua terasa berlebihan dan bukannya istimewa. Jika mereka ingin aku bersemangat, setidaknya percepatlah operasi dan sembuhkan aku agar aku bisa keluar dari sini.
Sudah hampir setahun aku menetap di Rumah Sakit ini. Memang banyak hal yang berubah. Perlahan-lahan aku mulai terbiasa dan menerima keadaanku dan menyiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi. Sebab, aku masih ingat akan bom waktu yang melekat tepat di dalam tubuhku.

“Hayooo lagi ngelamunin apa? Dari tadi diem mulu sampe gak sadar aku masuk. Padahal handphone kamu aja lagi nyala gitu gatau lagi nonton apa.” suara lembut seorang wanita tiba-tiba saja mengejutkanku. Suster Anna. Aku sudah hapal sekali setiap lantunan nada dan melodi suaranya.

“Lagi natap hujan aja kok.” ujarku santai tanpa mengalihkan pandanganku dari rintikan hujan di luar sana. Aku memang melamun, namun justru karena lamunan itu aku tidak sadar bahwa drama yang tadi kutonton belum kumatikan juga.

“yee... kebiasaan. Yaudah aku pergi dulu ya. Jangan sering-sering ngelamun. Mending kamu baca buku gih atau dengerin lagu. Oh iya, nanti dokter Rizky bakal kesini ya..” ujarnya lembut.

“iya, iya...” jawabku dengan nada mendayu. Setelah itu aku dapat mendengar langkah kakinya yang menjauhi tempat tidurku. Kemudian disusul dengan suara pintu yang dibuka kemudian ditutup kembali. Ia sudah pergi. Ku harap ia tak tahu bahwa aku tak menonton video motivasi yang ia sarankan malam tadi.

Aku mengenal seorang lelaki yang seumuran denganku di rumah sakit ini. Ia juga mengidap penyakit yang menyebabkannya terkurung di sini. Namun, ia tak pernah memberi tahuku tentang hal itu.Vian Wijaya Kusuma, awalan nama yang modern dengan akhiran yang menurutku cukup tradisional. “Itu nama keluarga. Keluarga bapak gua yang nurunin nama itu,”  katanya menjelaskan saat awal pertemuan kami.
Kami bertemu saat hujan turun. Saat itu aku sedang menatap keluar jendela kamar yang berada di lantai dua rumah sakit dengan ditemani lagu Way Back Home karya Shaun, seorang penyanyi asal Korea. Karena terlalu menghayati musik, aku jadi melamun dan mulai berkhayal. Namun, seseorang yang berada di bawah pohon saat itu mengalihkan perhatianku. Aku menatapnya lekat demi mengetahui wajahnya. Tentu saja aku tak mengenalnya. Di rumah sakit ini, selain beberapa staff rumah sakit, aku tak tahu siapa pun.Setelah itu ia melihatku dan kelihatan sangat terkejut. Aku yang malu langsung membuang muka, mengambil handphone dan berbaring.
Keesokan harinya, kami bertemu lagi. Saat itu ia masuk ke kamarku tanpa permisi, dan tentu saja aku tak menyadari hal itu sampai ia mengatakan “Hai” dan aku berbalik. Aku terbelalak dan hampir teriak. Anehnya ia justru lebih kaget dariku, setelah itu ia berusaha mengontrol diri dan tersenyum memperkenalkan dirinya sebagai pasien yang tinggal di sini cukup lama. Dan dari sanalah kami mulai dekat.

Bengong lagi?” suara berat tiba-tiba muncul dari balik bahuku. Aku terlonjak dan mencoba menyembunyikan  handphone di saku jaket, namun tak jadi setelah mendapati Vian dan bukannya dokter Rizky yang datang.

“Gila! Gua kaget tau gak!” suaraku meninggi. Kesal tentu saja. Aku hampir mati saat terciduk nonton drama korea dan bukan video motivasi yang digemborkan suster Anna padaku.

“Huh, kerjaannya ngayal aja ya, lu. Drama lagi disetel aja masih sempet bengong,” ujarnya sembari memukul pundakku pelan. Saat itu posisiku sedang menghadap jendela kamar dan membelakangi pintu.

“Lu tau kan gua lemah jantung.Astaga Vian!!” teriakku dengan nada tinggi. Lagi-lagi begini, dadaku rasanya tak karuan. Sedikit sakit.

“Ah maap. Gua lupa. Lu ga apa-apa kan?” tanyanya khawatir.

“Iya ga apa-apa. Sans, abis ini minum obat palingan,” aku tersenyum, mencoba menghapuskan rasa khawatirnya.

Ia duduk di sampingku dan mengacak rambutku. Rasanya nafasku sesak setiap kali ia begitu. Jadi, daripada jantungku mulai berdetak kencang dan menyebabkan hal fatal, lebih baik aku singkirkan tangannya dari kepalaku.

“Dingin,” ujarku pelan. Yang  kumaksud adalah tangannya yang selalu dingin entah kenapa. “Ha? Lu kedinginan? Mau gua ambilin selimut?”

Ah, dia salah paham. Aku menatapnya sambil menahan tawa. Tangannya masih ku genggam yang genggamannya sendiri tak ia balas. “Bukan gua, tapi elu yang dingin.,” ujarku memberitahu.

“Aelah, gua kira elu kedinginan. Gua emang gini kok,” ia balik menatapku sambil tersenyum simpul, tangannya membalas genggamanku. “Gara-gara penyakit lu?” tanyaku dengan nada polos.

Ia lama terdiam dan baru menjawab setelah beberapa detik. “Iya” Jawabnya singkat disertai senyum lembut. Aku mengalihkan pandangan dan mulai menatap keluar jendela. Namun aku dapat merasakan pandangannya belum beralih, dan genggaman tangannya bertambah erat.

Aku sangat menyukai pemuda ini. Beberapa hari setelah pertemuan pertama kami, ia selalu menyemangatiku yang terlihat lesu dan sendu. Bukan maksudku membelas kasihan kepada orang asing. Barangkali memang begitulah ekspresi wajahku ketika aku merasa lelah menjalani pengobatan yang tak menentu ini.
Namun, esok mungkin akan berbeda. Dokter telah mengatakan bahwa mereka sudah menemukan pendonor bagi jantungku. Aku senang bukan main hingga ingin sekali memeluk setiap orang di Rumah Sakit ini. Aku sangat berterimakasih bagi siapapun manusia baik hati yang ingin berbagi nyawanya padaku. Aku berjanji akan menjaga detak ini tetap stabil.

*********************
 

Hari ini aku operasi. Aku sangat gugup, bahkan menjadi terlalu pendiam karena hal itu. Papa dan mama menunggu, suster Anna menjadi sangat sibuk, dan Vian tak muncul sejak tiga hari yang lalu. Aku sangat mengkhawatirkannya.

“Sus, tau gak Vian kemana?” tanyaku kepada suster Anna yang sedang sibuk mencatat sesuatu. “Hah? Vian Siapa?” ia sedikit melirikku saat menjawab–atau lebih tepatnya kembali bertanya–sambil sesekali mencatat.

Ih masa gatau sih. Itu loh yang...,” kalimatku terputus. Tiba-tiba saja aku teringat akan sesuatu. “Jangan kasih tau kalo gua sering kesini atau gua deket sama lu. Soalnya gua dilarang buat pergi kemana-mana. Makanya gua kesini pas sepi,” itu peringatan yang Vian berikan sebulan lalu. Akhirnya aku tidak melanjutkan kalimatku dan membuat suster Anna bingung.

“Hah kamu ada-ada aja. Udah, mendingan kamu siap-siap. Beberapa jam lagi mau operasi,” katanya cerewet. Aku hanya mengangguk dan merasa sedikit kecewa ia tak datang untuk menyemangati. Namun, entah mengapa firasat buruk mulai merayap masuk.



*********************

Tiga hari pasca operasi, aku meminta suster Anna untuk menemaniku pergi keluar rumah sakit untuk sekedar berjalan-jalan. Kini aku harus menggunakan kursi roda untuk pergi karena jahitan yang masih basah. Biar begitu, aku senang karena operasinya berhasil sekaligus khawatir akan kondisi Vian. Sejak tersadar kemarin, aku terus memikirkannya. Aku sangat merindukannya berada di kamarku dan berbincang bersama. Jadi, aku berencana berkunjung kekamarnya setelah berjalan-jalan sebentar.
     Aku baru sampai koridor lantai satu saat beberapa perawat muncul mendorong ranjang rumah sakit dengan tergesa-gesa. Seseorang terbaring di atasnya. Suster Anna mendorong kursi rodaku kepinggir dan aku mulai memperhatikan sosok diatas ranjang itu.
     Semuanya tertutup kain putih. Kemudian perasaanku mulai tak enak dan sedih, karena aku tahu orang itu sudah tak bernyawa lagi. Aku mendongak, melihat keseberang dan mendapati Vian sedang berdiri mematung. Ia terlihat sedih dan putus asa.

     “Kasihan, padahal aku sering ke kamar anak itu buat ngecek keadaanya,” ujar suster Anna tiba-tiba yang membuatku langsung berpaling ke arahnya dan bertanya. “Emangnya dia siapa? Kok suster gak pernah cerita ke aku?”

     “Dia pasien kamar sebelah. Dia itu koma selama beberapa bulan dan baru meninggal beberapa jam lalu. Namanya Vian Kusuma Wijaya.”

     Aku terkejut dan mulai gemetar. Kemudian aku menatap Vian di seberang. Ia tersenyum kemudian mengangguk dan mengatakan sesuatu “Makasih atas setahunnya. Gua seneng bisa kenal lu, maaf gua ga ngasih tau keadaan gua. Gua gamau lu takut sama gua gara-gara tau kenyataanya. Gua harap lu seneng, selamat atas operasinya. Gua udah ga sakit lagi. Gua sayang lu, jadi tetep semangat. Gua pergi dulu ya.” Aku tercengang, tenggorokanku tercekat, mataku panas dan mulai mengeluarkan benih air mata. Sedangkan sosok Vian memudar dengan senyum tulus.

     Semua memang tak dapat diterima akal sehat, pun tak bisa diterima nalar. Aku benar-benar tak pernah percaya akan apa yang kulihat. Namun, setelah kejadian itu. Aku tak pernah melihatnya lagi. Aku sudah berusaha bertanya kepada pihak keluarganya, aku bahkan melihat foto yang dipajang saat hari pemakamannya. Dan hasil yang kudapat dari semua itu adalah benar. Benar bahwa orang yang selama ini kuajak bicara, yang menyemangatiku, sahabat seperjuanganku, dan seluruh harapan hidupku di penjara putih itu adalah Vian. Vian yang kini terbujur kaku. Yang sejak awal bertemu denganku memang hanya sosok semu. Kini aku mengerti apa maksud dari wajahnya yang sangat terkejut dipertemuan pertama kami. Aku mengerti mengapa ia ingin aku tetap semangat dan hidup. Barangkali, ia sudah tahu bahwa sosok semunya yang telah berpisah dengan raga tak akan pernah menyatu kembali. Oleh karena itu, aku dipercayanya dapat terus melanjutkan hidupku kembali. Karena aku masih bisa bernafas, karena jiwaku masih bersatu dengan raga, karena aku bertemu denganya.

     Terimakasih. Aku berjanji akan menjaga detak ini. Aku berjanji menjaga jantung yang kau titipkan. Terimakasih telah hidup walau sebentar. Terimakasih telah memberiku kesempatan. Kau dengan begitu hebatnya bangkit dan mengatakan ingin mendonorkan jantungmu yang bugar untukku. Kau mungkin terlalu egois. Tak memikirkan bagaimana perasaan kedua orangtuamu yang mendengark permintaan pilu itu. Namun aku yakin. Mereka akan sangat bangga, kau menjadi putranya yang memberikan nyawa. Akan kujaga detakmu, akan kucoba membantu keluargamu. Tenanglah di sana sahabat semuku. Aku akan mengenangmu dalam sanubariku.













Komentar

Postingan Populer